Monday 3 May 2010

MAKALAH : Ahwal dan macam-macamnya dalam tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam prespektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakn efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanivestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut
Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau brontak, rasa takut atau suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib), dan seytiap maqam adalah upaya (makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri berpandapat bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari tuhan ke dalam hati manusia, tanpa ia mampu   menolaknya bila datang, atau meraihnya bila pergi, dengan ikhtiarnya sendiri . Maka, lanjut al-Hujwiri, sementara istilah maqam menunjuk kepada jalan sang pencari, istilah hala menunjuk kepada nikmat dan kemurahan yang tuhan anugrahkan kepada hati hambanya, dan yang tidak berkaitan dengan kezuhudan sang hamba. Olek karenanya, maqam termasuk dalam kategori tindakan, sedang hal termasuk dalam kategori anugerah.
Senada dengan kedua sufi diatas, Ibnu ‘Arabi (w.638H./1240 M.) Menyebut hal (keadaan) adalah setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan, fana’ (hilang kesadaran diri), ketidakhadiran dan ridha; eksistensinnya bergantung pada sebuah kondisi. Ia menjadi sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dahulu dari para sufi diatas, memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam didalam kalbu dengan sebab dzikir yang tulus”. Ada yang mengatakan bahwa hal adalah zikir yang lirih (khafiy), sebagaimana Hadist nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik dzikir adalh yang lirih (khayr al-dzikir al-khafy). Menurut al-Saraj, al-Junaid juga melihat bahwa hal bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal. Dalam pandangan al-Sarraj, hal tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah da mujahadah sebagaimana maqamat, melainkan anugerah Allah.
Al- Ghazali kelihatannya juga memilimki pandangan yang mirip dengan para sufi pendahulunnya diatas. Ia menyatakan, apabila seseorang telah tetap dan mantap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu, dan itulah hal. Hal nampak cepat berubah. Ia mencontohkan tentang warna kuning yang dapat dibagi dua bagian. Warna kuning yang tetap, seperti warna kuning yang ada pada emas dan warna kuning yang cepat berubah yakni warna kuning yang ada pada sakit kuning. Begitu [pula perasa’an, kondisi dan sifat hati. Kadangkala mempunyai sifat tetap dan mempunyai sifat berubah. Kondisi, sifat dan perasaan hati yang tetap di sebut maqam dan yang mempunyai sifat berubah dinamakan hal.
Abdullah ibn ‘Alaawy al-Haddad (w.1720 M.) mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandanagan para sufi diatas. Menurut al-Haddad, ahwal adalah suatu kondisi baatin yang dialami seorang sufi dalam keadaan belum mantap, kemudian ketika kondisi batin itu telah mantap maka disebutlah maqam. Ahwal, dalam pandangan al-Haddad dapat diperoleh seseorang karewna pengaruh dari ilmu, sebab ilmu dapat membuahkan hal dan hal menghasilkan maqam.
Mayoritas kaum sufi membedakan antara maqam dan hal secara literal. Hal disebut demikian karena berubah-ubahnya (li-tahawwulihi), sedang maqam dinamakan demikian karena keadannya tetap dan permanen (li tsubutihi wa istiqrarihi). Dengan demikian maqam adalah tetap sedang hal senantiasa berubah.
Al-Sarraj dan kebanyakan kaum sufi  beberapa sudah disebut diatas sepakat bahwa hal merupakan karunia (mawahib), dan seytiap maqam adalah upaya (makasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, maqam berarti menunjuk kepada sebuah kerja aktif sedang seseorang yang menerima hal adalah pasif dalam keadaannya. Namun ada yang mengatakan, perbedaan ini hanya pada tatanan teoritis belaka dan tidak mempengaruhi pada aspek praktinnya.

1.2.  Rumusan Masalah
·         Apa saja macam-mcam ahwal dalam tasawuf ? 

BAB II
KONSEPSI TEORI

2.1.  Definisi Ahwal
Dalam pembicaraan tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa mengabaikan dua istilah teknis yang sangat penting. Yaitu: “Maqamat dan ahwal” . Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Sekalipun sama-sama di alami dan di capai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju tuhannya. Namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara “maqamat” dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun kelangsungannya.  “Ahwal” sering di peroleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Diantara “ahwal” yang sering di sebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun ke banyakan mereka mengatakan bahwa “ahwal” di alami secara spontan dan berlangsung sebentar dan di peroleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada “maqamat” melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-0kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa di sebut “lama’at”.
Selain soal cara memperoleh dan sifat keberlangsungannya, saya juga merasa penting untuk menyinggung sifat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju tuhan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya.
Demikian jika kalau kita baca naskah-naskah sufi ada yang mengatakan bahwa ridha misalnya sebagai “maqam” (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang mengganggap sebagai “akhwal”, seperti yang diyakini misalnya, oleh Abu Utsman al-Hiri. Selain pelangsungan dalam “ahwal” ada yang mengatakan bahwa “beberapa ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap maka menurut seorang guru Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu”. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman al-Hiri justru mengatakan, “Jika hal tidak abadai dan tidak terdelegasikan, maka iti hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya. Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Bagi saya perbedaan persepsi terhadap baik maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman subyektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Tidak ubahnya seperti serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki persepsi dan diskripsi yang berbeda tentang kota itu. Pebedaan-perbedaan itu sama sekali tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan menunjukkan ketidakobjektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama bahwa kita tidak bisa begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para turis hanya karena perbedaan yang terdapat dalam laporan masing-masing anggota rombongan tersebut tentang kota yang mereka kunjungi. Jadi, pengalaman spiritual para sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang mereka alami tetaplah objektif dan real.

BAB III
STUDI KASUS

Jika dirunut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal Sesungguhnya telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal) adalah Dzunun al-Mishri (w. 796 M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati (w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal. Setelah mengkaji dan membahas. Selanjutnya terdapat beberapa macam-macam ahwal. Beberapa di antaranya dapat di uraikan sebagai berikut:

3.1  Macam-Macam Ahwal

3.1.1. Muraqabah
Secara literal, muraqabah berrti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya. Sehingga manusi mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini, tetap teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya. Selanjutnya tentang muraqabah ini, al-Sarraj menunjuk ungkapan al-Darani yang menyatakan bagaiamana mungkin tersembunyi bagi Allah apa-apoa yang ada di dalam hati, tak ada di dalam hati kecuali apa yang telah Allah berikan kedalamnya. 
Menuru al-Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabahnya terbagi atas tiga tingakatan. 
a.       Tingkatan Pertama
Adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn ‘Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karana Allah selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin. 
b.      Tingkatan Kedua
Dalam muraqabah di tunjukkan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang senntiasa mengawasi Yang Haq dengan Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senantiasa mengikuti nabi Muhammad SAW. Dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memilki kesadaran penuh bahwa sebaik pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak nsedikitpun terbesit adannya pengawasan yang lain , dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
c.       Tingkatan Ketiga
Dari ahli muraqabah adalah hal-al kubara’ (orang-orang agung), yakni mereka yang senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam muraqabah dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka, seperti firman-Nya, 
Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”.  (QS. Al-A’raf:196).

3.1.2. Qurb
Secara literal, qurb berarti dekat darinnya dan kepadanya. Menurut sari al-saqathi, qurb(mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara ruwaym ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab, “menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya.

Dalam pandangan al-sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepada-Nya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatanya, dan mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri. Kedekatan allah kepada hambanya banyak disebut dalam firmanNya seperti:
·          

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS.Al-Baqarah:186)
Menurut Al-Sarraj Qurb ada tiga tingkatan yaitu:
a.       Tingkatan pertama dari tiga tingkatan orang-orang mendekaat kepada Allah adalah orang-orang yang berjuang mendekati Allah dengan berbagai macam ketaatan karena mereka memiliki pengetahuan yang diberikan oleh Allah, mengetahui kedekatan dan kekuasaan Allah kepada mereka.
b.      Tingkatan kedua adalah orang yang sudah sempurna dengan keadaan tingakat pertama. Artinnya dengan ketaatan dan ilmunya tentang Allah ia yakin merasa melihat dan dekat kepada Allah.
c.       Tingkatan ketiga adalah kelompok kaum agung dan kaum akhir (hal al-Kubara wa ahl al-Nihayah). Kondisi qurb mereka seperti yang dicewritakan oleh Husyan al-Nuri. Ia menjelaskan dalam pandangan kaum sufi, teman sejati adalah Allah dan bukan yang lain. Kedekatan kepada Allah jauh lebih baik daripada kedekatan sepasang sahabat. Dan kedekatan sepasang sahabat boleh jadi itu artinnya semakin jauhnya hamaba dari Allah.

3.1.3. Mahabbah
Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinnya.
Mahabbah ini, disebut Allah dalam beberapa ayatnya:
·          (QS. alHai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Ma’idah:54)
·        

(QKatakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (Qs. al-Ali’Imran:31)
·        
(Qs.Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Qs. al-Baqarah:165)

Mahabbbah mempunyai tiga tingkatan
a.       Tingkatan pertama ini pada intinnya mengandung 3 hal yakni
o   Mengerahkan ketaatan pada Allah dan membenci sikap melawan kepada-Nya
o   Menyerahkan diri kepada sang kekasih secara total
o   Mengosongkan hati dari segala sesuatu yang dikasihi.
b.      Tingkatan kedua
Adalah pandangan hati, keagungan, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya. Itulah cinta orang yang  jujur kepada Allah dan orang yang telah menemukan kebenaran dan pengetahuan sejati tentang tuhan.
c.       Tingkatan ketiga
Adalah cintannya orang yang bersikap benar kepada Allah (shiddiqun) dan orang yang mengenal Allah dengan mata hatinnya (arifin).

3.1.4. Khawf
Menurut al-Qusyairi takut kepada Allah berarti takut kepada hokum-Nya. “Maka takutlah Kepada-Ku jika kalian orang-orang yang beriman.”
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali-Imran : 175).
Khawf atau takut, adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di masa mendatang.
Al-Ghozali memandang khawf sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa mendatang. Abu Hafs menerangkan bahwa takut adalah cambuk Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya. Takut adalah pelita hati. Dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang. Abu Umar Al Dimasyqi menegaskan bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri melebihi rasa takutnya kepada musuh. Abu Al Qasim Al Hakim memandang orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah akan lari kepada-Nya. Ahmad Al Nuri menegaskan seseorang yang takut adalah yang lari dari Tuhannya kepada Tuhannya. Syah Al kirmani berpendapat  tanda rasa takut adalah sedih yang terus-menerus dan menurut sufi lain, tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang keghaiban.
Ibnu Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah. Untuk memunculkan rasa beralah seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Dalam pandangan Al Sarraj, Khawf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan, keyakinan yang kuat, dan rasa takut kepada Allah.Khawf itu menurut Al Sarraj dibagi menjadi tiga tingkatan :
a.       Takutnya orang awam.
b.      Takutnya orang-orang pertengahan.
c.       Takutnya kaum Khushus (khusus)
Khawf berkaitan dengan raja’. Seorang hamba yang dekat dan intim dengan Allah akan merasa ketakutan yang luar biasa kepada-Nya. Takut akan ancaman dan siksa-Nya, takut berpisah, dijauhi oleh-Nya, sehingga terputus dari rahmat-Nya dan hilang rasa nikmat bersama-Nya. Namun pada saat bersamaan sang hamba juga merasakan raja’, harapan yang besar akan limpahan dan ampunan, kasih sayang, dan karunia Allah.
3.1.5. Raja’
Raja’ atau harapan menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang senantiasa bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan Khawf dan Raja’ namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit dan aku takut terbenamnya disaat terbenam.”, ucapan itu menurut Al-Ghozali bukanlah Khawf dan Raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika ada yang mengatakan,” Aku berharap turun hujan dan aku takut berhentinya.”, itulah ucapan yang menunjukkan keterpautan Khawf dan Raja’.
Abu Ali Al-Rudzbari  memandang Khawf dan Raja’ seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya. Raja’ berarti suatu sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’ merupakan hal yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,
·        Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab : 21).
·         Firmannya yang lain
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Isra’ : 57)
Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
a.       raja’ bersama Allah (fi Allah)
b.      raja’ di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
c.       raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).

3.1.6. Syawq
Secara literal, syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang  syawq sebagai derajat atau maqom tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syawq ini mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya.
Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah Syawq (rindu).
Menurut Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.
a.       pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.
b.      Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
c.       Ketiga, mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja.

3.1.7. ‘Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.  Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
  1. Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
  2. Kedua, Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
  3. Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu sendiri.
3.1.8. Thuma ‘Ninah
Secara literal, Thuma’ninah berarti tenang tentram, tidak ada perasaan khawatir atau was-was, tak ada yang dapat ,mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah menurut Al-Sarraj adalah hal yang paling tinggi.  Thuma’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat). Beberapa firman Allah tentang Thuma’ninah, diantaranya:
·          
”Ya” (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Al-Ra’du:28)
·        

“Wahai jiwa yang tenang”(QS. Al-Fajr:27)
Thuma’ninah terbagi menjadi 3 tingkatan.
  1. Pertama adalah kaum awam. Mereka merasa tenang jika menyebut-Nya.
  2. Kedua, Kelompok khushus(khusus). Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar dengan , musibah-Nya, bertakwa, ikhlas, dan damai.
  3. Ketiga, kelompok istimewa (khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia yang ada pada mereka tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa agung dan segan yang hinggap dihati mereka. Menurut mereka, Allah tidak memiliki akhir yang mungkin dicapai.
3.1.9. Musyahadah
Dalam perpektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, 

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata.
Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah.  Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan.
  1. Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
  2. Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan aa pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya.
  3. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh.
3.1.10. Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki,   karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.

    Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”. (QS. Al Hijr : 75).
      ”Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Dzariyat :20)
      Lebih  lanjut menurut Al sarraj seluruh ayat-ayat Allah yang berbicara mengenai yaqin sesungguhnya terdiri atas tiga hal : Ilm Al-yaqin, ‘ain Al yaqin, dan haq Al yaqin. Al Junaid berpandangan bahwa keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini, nabi pernah bersabda,”Sekalian makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka ketika mati.” Maksudnya sesuai dengan keyakinan mereka ketika mati.



      BAB IV
      KESIMPULAN

      4.1.  Kesimpulan
      Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
      Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja’, Syawq, ‘Uns, Thuma ‘Ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing.







      REFERENSI

      Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.  Jakarta: Erlangga.
      Bahri, Media Zainul. 2005. Menembus Tirai Kesendiriannya. Jakarta: Prenada.
      Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf.  Yogyakarta: Pustaka Sufi.
      Shihab, Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam
      Sufistik dan Pengaruhnya Hingga Kini. Bandung: Mizan.

      Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.